Boleh saja orang bilang bahwa ilmu  pengetahuan berkembang karena ada kecurigaan. Namun jika kecurigaan itu  didasarkan pada perasaan tidak aman, sebaiknya jangan dibiarkan karena  bisa berkembang menjadi paranoia.
Pada masa lalu banyak  warga masyarakat kita yang enggan bicara apa adanya tentang keadaan  buruk yang menimpa mereka. Keengganan itu umumnya didasarkan pada  perasaan takut yang luar biasa bahwa mereka akan dijebloskan ke penjara  dan dituduh menghina pemerintah atau melakukan tindakan subversi. Tembok  pun sepertinya bertelinga, sehingga mereka harus bisik-bisik jika  memiliki keberanian berbicara.
Sebaliknya, kebanyakan pejabat  negara pun suka bertindak berlebihan dengan alasan ‘demi stabilitas dan  keamanan’, meskipun tidak terlalu jelas apa yang sebenarnya telah  membuat tidak aman dan tidak stabil.
Terhadap perilaku rakyat maupun pejabat negara itu, kalangan yang kritis pada waktu itu biasanya memberikan label  ‘paranoid’ atau sakit curiga. Gejala semacam itu akhir-akhir ini sudah  semakin hilang, bahkan yang terlihat adalah eforia kebebasan berbicara.
Terancam Gengster
Lain  lagi dengan Herman (bukan nama sebenarnya) yang berprofesi sebagai  pengacara. Ada atau tidak ada pergantian rejim, ia memiliki kecurigaan  yang luar biasa. Pada suatu hari ia dibawa oleh keluarganya ke sebuah  klinik psikiatri, karena selalu merasa terancam oleh kelompok gengster  yang mau menangkap, menyiksa dan membunuhnya.
Herman merasakan  ketakutannya itu sejak ia mendengar bahwa banyak perkara hutang piutang  perusahaan yang tidak lagi ditangani pengacara melainkan oleh kelompok  preman.
Herman juga bercerita bahwa dirinya ‘dimatai-matai’ oleh  kelompok gengster, karena ia sering melihat ‘orang-orang berwajah  sangar’ di lobi gedung di mana ia berkantor. Ia pun merasa nyaris  ‘diculik’ karena melihat ada mobil boks parkir di depan rumahnya.
Saat  pergi ke luar kota pun, Herman merasa dirinya ‘dibuntuti’ oleh petugas  yang menurutnya dibayar oleh pimpinan gengster itu. Keyakinannya itu  didasarkan pada fakta bahwa ia melihat dua orang memakai jaket kulit di lobi hotel. Saat di bandara pun ia melihat beberapa pria mengenakan jaket kulit yang memandangi dirinya dengan seksama.    
Saat  dibawa ke klinik itu Herman merasa aman, karena tidak ada lagi yang  mengawasi dan mengejar-ngejarnya. Maka bagi yang melihatnya pun tak  terlihat ada yang tidak wajar pada kejiwaan Herman. Ia tampak sungguh  sehat jasmani dan rohani.
Ketidakwajaran baru muncul setelah  Herman pada suatu pagi meminta dihadirkan pastur, karena ia ingin  mengaku dosa. Usai mengaku dosa, ia bercerita kepada dokter mengenai  penyesalannya mengapa berbicara banyak kepada orang asing, yaitu pastur  tadi.
Herman merasa telepon genggamnya telah ‘disadap’ oleh pihak  gengster yang mengincarnya, sehingga mereka mengirimkan pastur gadungan  kepadanya. Ia meyakini hal itu setelah melihat pastur yang datang   wajahnya tidak ramah dan tangannya kasar. Sejak itu Herman meminta  dipindahkan ke rumahsakit yang dijaga ketat oleh tentara.
Didasarkan Delusi
Paranoia  secara umum memang merujuk pada kecenderungan seseorang atau suatu  kelompok masyarakat untuk memiliki kecurigaan dan ketidakpercayaan  terhadap orang lain, yang tidak didasarkan pada kenyataan obyektif  melainkan pada kebutuhan untuk mempertahankan egonya. Dorongan bawah  sadar ini merupakan suatu proyeksi dari mekanisme pertahanan diri, dan  seringkali juga merupakan bentuk kompensasi waham megalomania (merasa  diri paling hebat).
Pengertian paranoia yang lain merujuk pada  gangguan psikosis berupa kecenderungan perilaku yang didominasi oleh  reaksi yang didasarkan pada delusi (angan-angan atau khayalan). Menurut   Norman Cameron, MD., Ph.D dalam  buku An Outline of Abnormal Psychology delusi itu menyangkut dua hal,  yaitu penyiksaan dan waham kemegahan atau kebesaran.
Perilaku  yang didasarkan pada khayalan ini sebetulnya wajar terjadi pada orang  yang normal, dan juga sangat umum pada orang yang memiliki kebutuhan  khusus atau mengalami kecemasan.
Orang yang merasa tidak aman  akan mengembangkan khayalan yang membuatnya bereaksi sangat sensitif  terhadap apa pun yang merangsangnya, sementara sikap yang relatif tidak  emosional dan reaksi dari individu yang memiliki rasa aman yang cukup  akan cenderung mencegah berkembangnya perilaku berkhayal.
Peristiwa  berkhayal ini juga kerap terjadi karena orang harus melanjutkan aksinya  yang tidak didasarkan pada data yang lengkap dan pasti. Aksi berkhayal  ini bisa dihentikan selama orang yang bersangkutan mau berusaha mencari  kelengkapan dan kepastian data.
Namun pada orang-orang tertentu  yang memiliki kecemasan tinggi membutuhkan kepastian yang absolut, dan  kebiasaan seperti ini menurut Cameron bisa menyebabkan berkembangnya perilaku patologis yang serius.
Pada  kasus Herman, paranoia yang dialaminya berkembang sejak kecil karena ia  memiliki rasa aman yang sangat rendah. Perasaan itu muncul karena ia  merasa tidak diperhatikan dan ‘dibuang’ oleh orangtuanya, dan selama  Herman tinggal berpindah-pindah dari satu famili ke famili lain ia tidak  mendapatkan rasa aman itu. Sampai dewasa dan menjadi pengacara pun,  kebutuhan akan rasa aman ini tak pernah tercukupi oleh status sosial  maupun ekonominya.
Maka, jangan abaikan kebutuhan rasa aman pada anak-anak kita.
www.gayahidupsehatonline.com
 
No comments:
Post a Comment